NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 4

Kinara terdiam beberapa detik sebelum menyadari bahwa dia tidak salah dengar, lalu mengangguk pelan dan berkata dengan tenang, "Baik, aku akan bangun sekarang." Setelah itu, dia berbalik turun dari tempat tidur, tanpa sengaja luka di tubuhnya tertarik, namun dia tidak mengernyitkan alis sedikit pun. Melihat sikapnya yang begitu cepat setuju, Stefan merasa agak gelisah. Tadinya dia mengira, Kinara akan menolak, atau seperti sebelumnya, mempertanyakannya dengan tajam. Namun, dia tidak melakukan itu. Tepat ketika Stefan hendak berkata sesuatu, Mirana menggoda dengan manja, "Kak Stefan, aku lapar, tadi kamu menguras tenagaku begitu lama ... " Stefan tersadar. "Baik, aku akan menyuruh pelayan menyiapkan makanan enak untukmu." Setelah dia pergi, Mirana segera menampakkan ekspresi mengejek. "Lihat 'kan, Kak Stefan sekarang hanya peduli padaku. Aku sarankan kamu cepat pergi, jangan buat dirimu malu di sini!" Kinara mendengus dingin. "Tenang saja, Mirana, sejak aku tahu kalian tidur bersama, aku sudah nggak berniat lagi bersama Stefan." "Kalau kamu ingin posisi Nyonya Jiswara itu, ambil saja." Mirana menggigit bibirnya. "Posisi itu sejak awal memang milikku, nggak perlu kamu kasih!" Kinara menatap adik kandungnya yang telah dia rawat selama dua puluh tahun, merasa asing sekaligus menakutkan. "Mirana, sejak kecil hingga sekarang, apa pun yang kamu inginkan, selalu aku kasih." "Kalau kamu menyukai Stefan, kamu bisa saja memberitahuku langsung, kenapa harus diam-diam menggoda dia?" Wajah Mirana berubah, dengan nada kesal berkata, "Apa kamu pikir dirimu sangat berjiwa besar, sampai-sampai menyerahkan pria yang kamu sukai padaku? Aku kasih tahu ya, Kinara, yang paling aku benci adalah sikapmu yang munafik itu!" "Apa yang aku inginkan, bisa aku rebut sendiri, nggak perlu kamu kasih!" Kinara tertawa marah. "Ternyata, semua pengorbananku untukmu kamu anggap pamer." "Bukankah memang begitu? Dari kecil hingga sekarang, kamu selalu menindasku. Semua orang hanya melihat kehebatanmu, lalu aku? Kenapa aku harus jadi nomor dua selamanya?!" Mendengar tuduhan Mirana, Kinara merasa putus asa, tak ingin membuang kata-kata lagi, lalu berbalik hendak pergi. Namun, begitu keluar dari kamar, Mirana tiba-tiba menyerbunya. "Aku tahu kamu nggak rela meninggalkan Stefan, biar aku bantu kamu!" Setelah berkata itu, dia mulai menampar dirinya sendiri dengan keras dari kiri ke kanan. Kinara segera meraih tangannya, tidak percaya, "Mirana, apa kamu gila?" Sementara itu, dari belakang terdengar teriakan marah Stefan, "Kinara, apa yang kamu lakukan pada Mirana!" Dengan terkejut, dia berlari cepat dan mendorong Kinara menjauh. Kinara yang sedang tidak siap pun menabrak vas antik di belakangnya hingga pecah. Serpihan pecahan menancap dalam punggungnya, membuat darah langsung mengalir deras. Dia menjerit kesakitan, wajahnya pun tampak meringis kesakitan. Namun, Stefan sama sekali tidak menoleh padanya, malah memeluk Mirana dengan kelembutan yang sudah lama tidak dirasakan Kinara. "Mirana, kamu baik-baik saja? Kenapa nggak melawan?" Sikap Mirana yang sombong tadi berubah, sekarang dia menangis tersedu-sedu. "Aku baik-baik saja, jangan marah pada Kakak, dia cuma takut aku merebutmu, jadi nggak sengaja memukulku." "Kakak, aku salah, Kak Stefan adalah milikmu, aku akan pergi sekarang ... " "Kinara!" Stefan tiba-tiba menoleh tajam, matanya penuh kebencian. "Aku yang membantumu menjaga Mirana, aku juga yang memintanya pindah ke sini. Kalau kamu berani, marahlah padaku, siapa yang izinkan kamu menyerang dia?!" Kinara merasa dadanya sesak, seluruh tubuhnya sakit. Dia menggertakkan giginya dan menjelaskan, "Dia yang memukul dirinya sendiri!" Mirana menangis dengan mata merah. "Kakak, jangan marah, aku kembalikan Kak Stefan padamu ... " Melihat sikap pura-puranya, Kinara marah hingga gemetar, lalu langsung menamparnya dengan keras. "Stefan, lihat dengan jelas, ini aku yang menamparnya, tadi aku bahkan nggak menyentuh sehelai rambutnya pun, kalau nggak percaya kamu bisa periksa rekaman CCTV!" Mirana baru ingat ada kamera di lorong, dan langsung "pingsan". Melihat itu, Stefan tidak ingin menyelidik lebih lanjut. Dia menggendong Mirana dan buru-buru turun ke lantai bawah. Saat melewati Kinara, dia menabrak bahu wanita itu dengan keras hingga terjatuh. Serpihan vas menancap di lututnya, rasa sakit yang menusuk membuat Kinara menjerit kesakitan. Stefan berhenti sejenak, lalu meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi. Mirana yang seharusnya pingsan, malah menunjukkan senyum kemenangan kepada Kinara dalam pelukannya. Melihat sosok Stefan yang pergi dengan tegas, Kinara tertawa sinis. Air mata pun tiba-tiba mengalir dari sudut matanya. Dulu, Stefan akan merasa sedih setiap kali melihatnya mengerutkan alis. Saat dia mengalami nyeri haid, Stefan bahkan ingin memanggil semua dokter terkenal di Kota Bahari untuk mengobatinya. Tapi sekarang, darahnya sudah mengalir di lantai pun, pria itu tetap tak peduli. Cinta dan tidak cinta, bedanya ternyata begitu nyata. Hati Kinara rasanya seperti ditusuk dengan pisau, rasa sakit yang menyiksa merambat ke seluruh tubuh. Malam itu, Kinara terjaga sepanjang malam. Dia mengemasi semua barang miliknya dan membuangnya ke tempat sampah. Hingga keesokan siang, Stefan baru kembali bersama Mirana. Begitu masuk rumah, dia segera menyadari ada yang aneh. "Kinara, kenapa sepertinya banyak barang yang hilang di rumah ini?"

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.