NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 6

Lima menit kemudian. Sebuah mobil Range Rover hitam melaju kencang menuju rumah sakit. Di kursi belakang, Niko duduk dengan wajah dingin, matanya tidak berkedip menatap wanita di pelukannya. Begitu kelopak mata Selena bergerak, Niko langsung melihatnya. "Selena, bangunlah." Selena mencium aroma segar yang akrab dari tubuh Niko, lalu perlahan membuka mata. Dia sedang duduk di pangkuan Niko, bersandar di dadanya. Begitu tatapan mereka bertemu, Selena sempat melihat kilatan kegembiraan di mata Niko. "Kamu ... " Sorot mata Niko mendadak meredup. Dia melihat dinginnya tatapan Selena. Tanpa ragu, Selena bangkit dari pangkuannya dan duduk menjauh, dengan sengaja menjaga jarak darinya. Niko mengangkat alis, mengira Selena sedang bersikap kekanak-kanakan lagi. "Selena, kamu sudah dewasa. Lagi alergi tapi nggak ke rumah sakit, malah pingsan di depan aku dan Simon. Kamu puas sekarang, kami semua harus khawatir dan sibuk mengurusmu?" Entah karena sikap dingin Selena yang membuatnya kesal dua hari terakhir ini, kata-kata yang seharusnya penuh perhatian justru menjadi menyalahkan. Tangan Selena mengepal, wajahnya yang menghadap jendela tampak pucat. Melihat sikapnya itu, Niko semakin tidak senang. Dia mencengkeram dagu Selena, memaksanya menoleh. "Bicara!" "Kamu sengaja menyakiti diri sendiri untuk menarik perhatian. Sekarang aku dan Simon ikut temani kamu ke rumah sakit, kamu malah bersikap dingin?" Selena menggigit bibirnya, lalu menepis tangan Niko, dan tersenyum getir. "Aku sengaja? Niko, kamu amnesia atau pura-pura lupa kalau aku alergi terhadap aroma bunga?" Niko mengernyit, wajahnya semakin masam. Tatapannya seolah berkata: kamu hanya sedang cari alasan. Sudahlah. Apa gunanya bicara sekarang? Selena tiba-tiba merasa lelah, dan segalanya terasa tidak berarti. Dia menyadari dua pasang mata lain di dalam mobil. Di kursi depan, Susan dengan wajah polos menyaksikan drama, sementara Simon bersandar di pelukannya. Saat Selena menoleh, Simon malah mengerucutkan bibir, seolah sedang menyalahkannya karena membuat keributan. Baik suami maupun anak, tidak ada yang peduli bahwa dia baru saja pingsan karena alergi. Yang mereka pikirkan hanyalah Selena sedang bermain drama untuk mengendalikan mereka. Mereka bahkan takut Selena akan menyalahkan semuanya ke Susan, jadi secara diam-diam melindungi Susan. "Kak Selena, kamu nggak apa-apa, 'kan?" Mata Susan berkaca-kaca, tampak sangat khawatir. Dia menyodorkan sebotol air sambil berkata, "Jangan takut, kita bentar lagi sampai di rumah sakit. Aku, Pak Niko, dan Simon akan menemanimu ... " "Plak!" Tangan Susan yang terulur itu dipukul keras oleh Selena. Susan mengerang pelan, seolah kesakitan tetapi berusaha menahan. Punggung tangannya langsung memerah. "Mama, kenapa sih selalu jahat sama Tante Susan? Aku nggak suka Mama lagi!" Suara Simon melengking, penuh kemarahan. Dia menggenggam tangan Susan dan meniupnya. "Fuu, fuu ... Tante Susan nggak akan sakit lagi ... " Bibir Selena bergetar. Dia ingin bicara, tetapi akhirnya memilih memejamkan mata. Pemandangan di depannya seperti pisau yang menancap ke jantung. Simon memang anak yang aktif sejak kecil. Terlebih lagi, anak laki-laki suka manjat sana sini. Setiap kali terjatuh atau terbentur, dia akan menangis dan memeluk Selena. Saat itu, Selena akan meniup luka itu sambil berkata, "Fuu fuu ... Mama tiupin biar sakitnya hilang." Begitu dia meniup, Niko langsung berhenti menangis, memeluknya manja, lalu kembali bermain. Sekarang ... Melihat anak yang dulu dia lindungi sepenuh hati, memperlakukan wanita lain sebagai ibu sendiri, Selena merasa sangat ironis. Tidak satu pun dari mereka menyadari sorot kemenangan di mata Susan, atau tatapan arogan saat dia bertemu pandang dengan Selena. "Sudah cukup. Simon baik sekali. Tante Susan nggak sakit lagi. Kak Selena tadi nggak pakai tenaga kok." Mata Susan masih merah berkaca-kaca. Dia membiarkan Simon mengelus tangannya sebelum menyembunyikan tangannya ke belakang. Kemudian, dia menatap Niko dengan tatapan seperti mengeluh. "Selena, minta maaf pada Susan." Suara dingin dan penuh ketidaksabaran itu membuat Selena menoleh dengan tatapan tidak percaya. "Kamu menyuruhku, korban, untuk minta maaf padanya?" Selena tertawa sinis. "Dia yang buat aku alergi sampai pingsan, apa aku harus berterima kasih juga sama dia?" Susan dulunya adalah bawahan langsung Selena, hampir bisa dibilang dididik Selena. Tidak mungkin Susan tidak tahu bahwa Selena alergi terhadap aroma bunga. Saat mencium aroma itu di rumah, Selena sudah merasa ada yang tidak beres, dan hasilnya ... "Pak Niko, nggak perlu paksa Kak Selena minta maaf. Aku tahu, dia hanya salah paham sama aku." Susan menunjukkan senyuman terpaksa, seakan-akan dia begitu tersakiti tetapi tidak ingin Selena salah paham lebih dalam. "Nggak perlu bela dia!" Sorot mata Niko sangat dingin. "Kamu terlalu memakluminya." Selena menangkap maksud tersirat dari kata-kata itu. Bahwa Niko juga merasa selama ini terlalu memanjakan dirinya, bukan? Sekali lagi, Niko tanpa ragu berpihak pada Susan. Lalu dirinya, istri sahnya, dianggap apa? Tiba-tiba Selena merasakan perutnya mengencang, rasa sakit menusuk datang bergelombang. Anak! Selena diam-diam melindungi perutnya, bibirnya terkatup rapat, tidak ingin menjelaskan apa pun lagi. Suasana di dalam mobil membeku. Untungnya, mereka segera tiba di rumah sakit. Niko turun lebih dulu. "Kak Selena, kesehatan itu penting. Jangan karena marah malah menyakiti diri sendiri," ucap Susan dari dalam mobil. Simon yang masih kecil tidak menangkap nada sindiran dalam ucapan Susan. Dia hanya merasa Tante Susan sangat baik, masih peduli pada Mama yang dingin dan tak berperasaan. Wajah Selena semakin pucat. Dia menatap Susan dengan tatapan dingin. "Dulu aku terlalu baik padamu. Sekarang aku yang menanggung akibatnya." Setelah berkata begitu, dia membuka pintu dan turun dari mobil. Sebelum melangkah pergi, dia menambahkan, "Mulai sekarang, kamu tanggung sendiri akibatnya." "Apa kamu pikir jadi nyonya Keluarga Horman semudah itu?" pikir Selena dalam hatinya. Susan tidak menganggap serius perkataan Selena. Baginya, begitu Selena tumbang, dia akan menjadi satu-satunya wanita di sisi Niko dan menjadi Nyonya Horman. Selena baru berjalan beberapa langkah ketika rasa pusing menyerang. Tubuhnya hampir jatuh, tetapi Niko sigap menangkapnya. "Dokter!" "Cepat datang!" Niko bisa merasakan tubuh Selena gemetar di pelukannya. Wajah mungil Selena pucat pasi, tanpa sedikit pun warna. Niko menatapnya dan tiba-tiba merasa panik. Tidak lama kemudian, perawat mendorong ranjang darurat dan membawa Selena masuk ke ruang gawat darurat. "Pasien mengalami reaksi alergi parah, harus segera ditangani ... Nona, apakah kamu punya riwayat alergi terhadap obat?" Di UGD, dokter bertanya sesuai prosedur. Selena menempelkan tangan ke perutnya. "Dokter, saya sedang hamil, nggak bisa menggunakan obat." "Hamil?" Dokter terkejut, lalu berkata, "Tapi gejala alergimu sangat serius. Kalau nggak segera ditangani, bisa menyebabkan mati rasa, bahkan sesak napas dan kematian." "Tolong berikan pengobatan standar yang nggak membahayakan janin," kata Selena sambil menahan kesadaran yang mulai kabur. "Dan ... jangan beri tahu suamiku soal kehamilan ini." "Itu ... nggak sesuai prosedur. Kalau terjadi sesuatu ... " "Aku adalah putri Keluarga Zamira. Apa pun risikonya, aku tanggung sendiri. Tolong ... " Belum selesai bicara, Selena sudah tidak sadarkan diri di atas meja operasi. Di luar ruang gawat darurat, lampu operasi menyala. Niko berdiri terpaku, mengepalkan tangan tanpa sadar. Selena hanya alergi. Tidak akan terjadi apa-apa. Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, saat tangannya meraih ujung jasnya, dia merasakan sesuatu yang basah. Matanya langsung membesar. Darah? Ini darahnya Selena?

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.