NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 12

Mata Simon, yang sangat mirip dengan Niko, langsung berkabut, menatap Selena dengan penuh kemarahan. Mama semalaman tidak peduli padanya, bahkan sup jagung yang dia inginkan pun tidak mau dibuatkan. Sekarang, dia terluka pun tidak dipedulikan, malah dibilang manja? Padahal kakinya sangat sakit, apa salahnya dirawat di rumah sakit? Rasa rindu Simon pada Selena langsung berubah jadi kesal. "Aku nggak minta kamu urus aku! Di rumah sakit ada Tante Susan dan Papa yang jaga aku!" Raut wajah Selena tetap datar. Simon menatapnya lekat-lekat. Biasanya, setiap kali dia menyebut "Tante Susan", Mama akan menunjukkan ekspresi yang berbeda. Sekarang ... Entah mengapa, Simon merasa sangat kecewa dan mengeluh, "Aku kan terluka, kenapa kamu nggak datang jaga aku? Gimana sih kamu jadi ibu?" Heh. Selena tertawa dingin. Nada dan ucapan Simon sama persis dengan Niko. Jadi, ibu itu harus selalu berkorban? Selena melewati Simon, hendak pergi. Simon panik dan segera berteriak, "Kamu nggak boleh pergi! Mama nggak boleh pergi ... " Selena tidak menggubrisnya. Begitu menoleh, dia berhadapan langsung dengan rombongan Niko. Niko menatapnya tajam, lalu mengangkat Simon yang menangis dari lantai. Tatapannya masih tajam saat dia berkata, "Selena, kamu benar-benar kejam!" "Kak Selena, Simon salah apa sih sampai kamu tega begini?" Susan berdiri di sisi Niko yang sedang menggendong Simon. Dia menunjukkan ekspresi kasihan terhadap Simon. Mereka bertiga tampak seperti satu keluarga. Selena tentu menangkap apa yang ingin dilakukan Susan, tetapi dia sudah tidak peduli lagi. "Sekalipun Simon salah, dia masih kecil, belum mengerti. Kamu sebagai ibunya, bukankah seharusnya lebih sabar?" Susan menatap Simon, lalu menegur Selena. Simon makin cemberut. Ucapan Susan membuatnya semakin merasa telah diperlakukan dengan tidak adil. "Tante Susan benar, aku nggak salah apa-apa. Aku cuma lebih suka main sama Tante Susan, Mama yang suka cemburuan, lalu marah padaku," pikirnya dalam hati. Melihat Simon menangis, Susan ikut meneteskan air mata. "Kak Selena, kok kamu bisa setega ini?" Satu kalimat yang sama. Mereka bertiga menatap Selena dengan penuh amarah. Sudut bibir Selena terangkat sedikit, tersenyum sinis. "Kalau kalian nggak tega, kenapa biarkan anak kecil berlari-lari di koridor rumah sakit?" Jika bukan karena dia keluar dari lift, Simon mungkin sudah naik lift sendirian. Selesai berbicara dan hendak pergi, seorang perawat berlari menghampiri. "Nona Selena, ini obatmu." Kantong plastik penuh dengan obat, jelas bukan obat flu biasa. Mata Niko sedikit menyipit. Dia menurunkan Simon, lalu melangkah ke arah Selena. "Kamu sakit?" tanyanya dengan suara yang rendah. Selena awalnya tidak ingin menjawab, tetapi dia takut Niko akan bertanya ke dokter. Dengan tatapan dingin, Selena mengangkat mata dan berkata tajam, "Ya, aku sakit. Sakit karena terlalu cinta." Niko tidak suka nada bicara Selena, tetapi hanya mengerutkan kening dan memilih diam. Saat Simon mendengar ibunya bilang sedang sakit, dia tidak menangkap nada sarkasme itu, hanya mengira ibunya benar-benar sakit. Baru saja dia hendak bertanya, Susan menyela, "Simon, Tante Susan masakin sup jagung buat kamu, ya? Kamu suka apa pun, Tante Susan bisa masak. Yuk, kita makan dengan baik, ya?" Begitu mendengar "sup jagung", mata Simon langsung menatap Selena dengan penuh rasa kecewa. Mama tidak peduli padanya, jadi dia juga tidak mau peduli pada Mama! Di dalam hati, dia tetap sangat ingin sup jagung buatan Mama. Setelah berpikir sejenak, Simon bertanya dengan suara kaku, "Aku mau makan sup jagung. Kamu mau masak nggak?" Nada bicaranya keras kepala, seolah menunggu ibunya minta maaf dan kembali dekat dengannya. Simon hampir menangis, tetapi tetap berbicara dengannya dengan nada mengancam. Selena menggeleng pelan. "Nggak. Siapa yang mau masak, silakan." Susan mendengar itu, langsung melirik Selena dengan tatapan penuh sindiran. "Kak Selena, cuma semangkuk sup jagung, nggak makan waktu lama. Kenapa harus bikin Simon sedih? Luka di kakinya masih belum sembuh ... " Susan mengusap air matanya, menggenggam tangan Simon sambil berkata, "Biar Tante Susan yang masakin buat kamu, ya?" "Ya." Simon terisak, menatap Selena dengan marah. "Mama, aku benar-benar nggak suka kamu lagi. Mulai sekarang aku cuma suka Tante Sus ... " Meskipun masih kecil, Simon tahu kata-kata mana yang bisa menyakiti Selena. Dia sudah sering mengucapkan kalimat itu. Setiap kali dipaksa belajar, dia akan bilang tidak suka Mama, lebih suka Susan. Simon sadar betul bahwa kalimat itu menyakitkan, tetapi tetap menggunakannya untuk menekan dan mengancam Selena. "Simon!" Suara bentakan Niko tiba-tiba menggema, membuat Simon terkejut dan semakin merasa tidak adil. "Sudah, kembali ke kamar dulu. Kalau Bi Rita sudah masak sesuai resep, rasanya pasti nggak jauh beda." Niko marah. Simon yang memang takut padanya langsung terdiam, hanya menatap Selena dengan tatapan seperti meminta bantuan. Namun, Selena tetap tidak bereaksi. Akhirnya, Simon pun dituntun pergi oleh Susan. "Selena, ada yang mau kubicarakan ... " Selena sudah selesai pemeriksaan dan mengambil obat. Tanpa menoleh, dia langsung masuk lift dan pergi. Niko menatap pintu lift yang tertutup, wajahnya menggelap. Dia mulai berpikir, sepertinya selama ini dia terlalu memanjakan Selena. Selena kembali ke tempat Vivi. Vivi yang semalam meninggalkan pekerjaannya demi menjemputnya, pagi ini sudah keluar lagi untuk urusan kerja. Karena sudah memutuskan untuk kembali ke dunia kerja, dan anaknya belum lahir, Selena hanya bisa memulai dari balik layar. Dia membuka laptop dan mulai mempelajari alur kerja serta saluran distribusi di balik layar. ... Malam pun tiba. Di kediaman Keluarga Horman. Niko pulang lebih awal dari biasanya, berniat bicara baik-baik dengan Selena. Hasilnya sia-sia. Selena tidak ada di rumah. "Selena belum pulang hari ini?" Bi Rita yang sedang menyerahkan daftar menu menjawab, "Nona Selena belum kembali." "Panggil dia Nyonya Horman atau Nyonya saja," ujar Niko dengan suara tajam. Panggilan "Nona Selena" dari mulut Bi Rita terdengar agak menyakitkan di telinga Niko. Seakan-akan menyiratkan Selena bukan bagian dari keluarga. "Ah, baik." Bi Rita langsung gugup. Dalam hati dia bergumam, "Kelihatannya Nona Selena masih punya posisi di rumah ini." "Sedangkan wanita yang ikut ke pulang untuk merawat Tuan Muda Simon itu, mungkin hanya selingkuhan yang lihai," lanjutnya dalam hati. Niko tidak tahu pikiran rumit Bi Rita, dia langsung naik ke lantai atas sambil mengernyit. Dua hingga tiga jam berlalu, Selena masih belum muncul. Niko hendak menelepon, sempat curiga apakah nomornya sudah diblokir. Tepat saat ini, ponselnya berdering. Panggilan dari teman dekatnya di dunia bisnis, Yano Jimka. "Halo, ada apa?" [Wah, Pak Niko yang terhormat. Apa Grup Horman mau bangkrut?] Suara Yano terdengar santai dan sedikit mengejek. Niko mengangkat alis. "Kamu ngomong apa sih?" [Kalau nggak bangkrut, kenapa ada yang jual saham Grup Horman?] Nada bicara Yano terdengar seperti menikmati kesulitan orang lain. Niko melirik layar ponsel, memastikan itu benar nomor Yano. "Kamu yakin?" Seseorang menjual saham grup miliknya?

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.