Bab 2
Ekspresi Zavier terlihat dingin. Thalia hanya berdiri diam di ruang tamu dan bahkan tidak berani melangkah.
Thalia mengatupkan bibirnya dengan irama napas yang makin cepat.
Thalia seperti anak kecil yang berbuat salah dan sedang berdiri menunggu hukuman dengan sekujur tubuh yang tegang.
Setelah selesai berbicara, Zavier pun menutup telepon, lalu bangkit dan meninggalkan ruang tamu.
Dia berjalan melewati Thalia tanpa berhenti sedetik pun, bahkan tidak melirik Thalia.
Yang terasa hanyalah embusan angin pelan dari langkah Zavier.
Pintu pun terbuka dan tertutup. Hanya lampu di lorong masuk yang masih menyala dan mencoba menerangi ruang tamu yang redup.
Thalia tetap berdiri sendirian di sana.
Dia tahu Zavier pasti kembali ke rumah sakit.
Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi. Walaupun Thalia sangat berhati-hati, tetap saja ada momen dia mengenai barang-barang Zavier. Bagaimanapun juga, mereka tinggal di rumah yang sama.
Thalia pernah secara tidak sengaja menyentuh gelas minum yang sering Zavier gunakan saat sedang membersihkan rumah. Zavier pun segera menyuruh orang untuk mengganti semua barang di rumah dengan yang baru.
Bahkan barang-barang milik Thalia ikut direndam di dalam cairan disinfektan.
Setelah itu, Zavier tidak pulang ke apartemen selama sebulan.
Saat itu, Thalia tidak tahu mengapa. Hingga pada akhirnya dia mendengar seorang rekannya di kantor rumah sakit sedang meledek Zavier yang dianggap terlalu berdedikasi sampai tidak pulang ke rumah selama beberapa hari.
Zavier menyahut dengan tenang, "Semua benda itu kotor soalnya sudah kena sentuh."
Barulah pada saat itu Thalia menyadari bahwa Zavier sebenarnya tidak menyukainya.
Setelah itu, Thalia jadi punya kebiasaan untuk selalu bersikap dengan hati-hati dan waspada karena takut jika sampai menyentuh barang-barang milik Zavier.
...
Hujan turun cukup lama. Thalia sendiri merasa sangat lelah setelah menjalani operasi pada siang hari.
Dia langsung mandi dan tidur, bahkan tanpa makan malam.
Ketika bangun keesokan paginya, rumahnya tidak berbeda dari malam sebelumnya. Suasananya masih terasa begitu sepi.
Zavier sama sekali tidak pulang.
Sambil mencuci piring, Thalia menatap pantulan dirinya di cermin dan teringat apa yang dikatakan Dokter Raffa kemarin.
Gangguan pendengarannya bukan karena bawaan lahir.
Sebenarnya, Keluarga Wenos memperlakukannya dengan sangat baik. Setidaknya, alat bantu dengar yang dia gunakan ini dibelikan oleh ayah angkatnya, Andre Wenos.
Alat bantu dengar ini adalah hadiah yang diberikan kepada Thalia untuk merayakan penerimaannya di Universitas Kedokteran Jinara.
Thalia benar-benar merasa berutang budi kepada Keluarga Wenos.
Namun, dia juga tidak berani berharap lebih.
Setelah serah terima tugas di rumah sakit, Thalia pergi ke kamar rawat untuk mengukur tekanan darah para pasien. Ketika kembali ke pos perawat, dia melihat para dokter sudah bersiap untuk melakukan kunjungan kamar rawat.
Ini hari Senin, jadi kunjungan kamar rawat dimulai sedikit lebih lambat dari biasanya.
Thalia langsung melihat Zavier di antara kerumunan. Pria itu mengenakan jas dokter dengan mata yang terkantuk-kantuk. Dia mendengarkan orang-orang di sekitarnya berbicara dengan ekspresi kosong.
Para dokter yang sudah berpengalaman tidaklah semuda Zavier, sementara yang sepantaran dengannya tidak sehebat Zavier. Zavier benar-benar menjadi sosok yang menonjol.
Saat teringat apa yang terjadi tadi malam, Thalia jadi merasa agak gugup saat melihat Zavier.
Sekelompok dokter berkumpul di depan pos perawat, jadi Thalia tidak bisa masuk karena terhalang oleh mereka.
Dia menundukkan kepalanya dan tetap diam karena ingin menunggu sampai semua dokter pergi sebelum kembali ke pos perawat.
Namun, kepala perawat kebetulan melihatnya dan berseru, "Thalia, kamu sudah selesai mengukur tekanan darah?"
Thalia mengangguk. "Ya. Kondisi semua pasien sama, tapi pasien di kasur nomor 29 demam. Pihak keluarga memintaku memanggil dokter untuk memeriksanya."
"Bagaimana kondisi si kakek yang tidur di kasur nomor 4 hari ini?"
Thalia menunduk menatap buku catatan di tangannya dan menjawab dengan serius, "Pasien baik-baik saja dan nggak lagi menolak pengobatan, tetapi pasien terus bertanya kapan bisa keluar dari rumah sakit."
"Pasien di kasur nomor 4?" Tiba-tiba, suara berat seorang pria terdengar menyela.
Thalia sedikit mengatupkan bibirnya, lalu menatap Zavier. "Dia pasien yang sebelumnya mengalami infark serebral mendadak."
"Aku tahu." Zavier menyela dengan suara yang berat. Dia menatap Thalia dengan pupil matanya yang gelap dan tajam itu. "Mengapa kamu bilang pasien menolak pengobatan?"
Pasien di kasur nomor 4 dibawa ke rumah sakit ini setelah Zavier pergi belajar. Setelah diselamatkan, pasien itu sempat menolak untuk diobati karena menganggap dirinya akan menjadi beban apabila dibiarkan hidup.
Sebelum Thalia sempat menjawab, seorang dokter lain sudah berbicara lebih dulu. Dokter itu tersenyum dan berkata, "Dokter Zavier pasti nggak tahu betapa sulitnya menangani pasien itu. Semua orang di poli kita sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tetap nggak berhasil menenangkannya. Semua ini berkat Suster Thalia."
"Suster Thalia memiliki kepribadian yang menyenangkan. Pantas saja semua pasien di poli kita suka diobati olehnya."
Dokter itu memuji sambil tersenyum, tetapi Thalia hanya sedikit menundukkan kepalanya dan tidak menanggapi.
Setelah beberapa saat, Thalia pun bergumam pelan, "Itu semua sudah jadi tugasku."
Dia menundukkan kepalanya dan berdiri dengan tegak, seragam perawatnya tampak bersih dan rapi seperti baru.
Thalia bisa merasakan tatapan yang tertuju kepadanya. Thalia hanya mengatupkan bibirnya dan berusaha sebisa mungkin agar tetap terlihat tenang.
Semenjak bekerja di sini, Thalia selalu berpembawaan seperti yang paling serius dan bertanggung jawab.
Karena Thalia ingin memberikan kesan yang sebaik mungkin di hadapan Zavier.
Namun, tatapan Zavier hanya sesaat tertuju kepadanya sebelum akhirnya beralih.
Meskipun begitu, Thalia tetap merasa ingin bekerja dengan lebih keras dan lebih serius.
Setidaknya agar membuat Zavier merasa bahwa Thalia bukanlah orang yang seburuk itu.
Sedetik kemudian, suara datar Zavier terdengar lagi. "Sebagai staf medis, memang sudah jadi kewajibannya untuk menemukan cara merawat pasien. Itu bukanlah sesuatu yang perlu dipuji."
Suasana pun mendadak hening sejenak. Thalia menurunkan pandangannya dan refleks mengepalkan tangannya. Dia balas bergumam, "Aku tahu."
Saat Thalia mengangkat kepalanya lagi, Zavier sudah berbalik badan dan berjalan pergi. Secara kebetulan, Thalia melihat profil Zavier yang dingin.
Hampir semua orang di rumah sakit tahu bahwa Thalia dan Zavier sudah bertunangan. Bagaimanapun juga, demi ketenaran, Keluarga Wenos memberikan sumbangan ke rumah sakit tidak lama setelah Thalia masuk rumah sakit. Kejadian ini bahkan diberitakan di media massa.
Seorang rekan kerja yang cukup dekat dengan Thalia pun refleks berujar dengan iba, "Dokter Zavier dingin sekali. Lihat saja tadi dia bilang apa."
Thalia yang sedang mengisi formulir pendaftaran pun mengatupkan bibirnya, lalu berujar membela Zavier, "Dia benar kok. Merawat pasien adalah kewajiban kita. Bukan sesuatu yang seharusnya digembar-gemborkan."
"Ya ampun, Thalia, kamu ini. Kamu masih saja membela Dokter Zavier mati-matian begini."
Semua orang di poli itu tahu bahwa Thalia adalah penggemar nomor satu Zavier.
Apa pun yang dilakukan Zavier, Thalia selalu menjadi orang pertama yang menyetujuinya.
Padahal, Zavier berulang kali tidak mengindahkan dukungan dari Thalia.
Ada yang pernah bercanda bahwa manusia pada umumnya adalah idealis atau materialis, sementara Thalia bisa dibilang pengikut setia Zavier.
Namun, tidak ada seorang pun yang berani membiarkan Zavier mendengar kata-kata ini.
Karena sudah menjadi rahasia umum di poli ini bahwa ....
Zavier sama sekali tidak Thalia.
Dengan kata lain, Zavier sama sekali tidak memandang Thalia.