NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 13

Thalia refleks mendongak karena dipanggil oleh Hanisha. Hanisha memang memiliki penampilan yang terkesan cerah, tetapi pembawaannya yang rapi dan terkesan bersih justru lebih menarik perhatian. Kemeja putihnya tampak begitu bersih dan sama sekali tidak kusut. Celana panjang hitam berpinggang tinggi juga membentuk lekuk pinggangnya dengan sempurna. Saat menatap Thalia, sorot tatapan Hanisha terlihat jelas sangat sombong dan menghina. Tatapan yang membuat orang yang ditatap merasa tidak nyaman. Kata-kata Hanisha terdengar seperti pertanyaan, tetapi nada bicaranya sama sekali tidak terdengar khawatir dan malah terkesan seperti pemberitahuan biasa. Selain itu .... Thalia menatap Zavier dan tatapan mereka saling bertemu. Namun, tatapan Zavier bahkan tidak tertuju pada Thalia sedikit pun. Pria itu malah menyahut, "Kita sedang membahas kasus ini, apa hubungannya dengannya? Kenapa perlu meminta pendapatnya?" "Bukannya Dokter Wisnu bilang kalian berdua akan pulang bersama?" sahut Hanisha dengan nada santai. "Sejak kapan aku setuju mau pulang dengannya?" balas Zavier. Tidak banyak emosi dalam nada bicara Hanisha dan Zavier saat mereka bertanya dan menjawab, tetapi mereka sama sekali tidak menyadari betapa malunya Thalia sebagai orang yang sedang mereka bicarakan. Kebanyakan orang di poli itu tahu bahwa Zavier sama sekali tidak peduli dengan Thalia sebagai tunangannya. Ucapan Zavier saat ini juga benar-benar tidak menghargai Thalia. Semua tatapan mata itu, entah yang penuh dengan simpatik ataupun keseruan menonton kejadian ini, tertuju pada Thalia dan sulit bagi Thalia untuk mengabaikannya. Namun, Thalia hanya bisa berpura-pura tidak tahu. Setiap kali dia menarik napas, dadanya terasa agak sesak. Thalia pun berusaha keras untuk mengendalikan suaranya agar setidaknya tidak terlihat terlalu malu. Dia berkata dengan suara pelan, "Memang tugas kalian sebagai dokter adalah membahas kasus ini. Dokter Hanisha nggak perlu bertanya padaku." Hanisha mengangkat alisnya dan langsung berkata, "Ya juga sih. Kamu juga nggak mengerti." Setelah itu, Hanisha pun menatap Zavier dan berkata, "Yuk." Zavier mengangguk, lalu memanggil dokter yang bersama mereka dan berjalan pergi. Namun, setelah hanya dua langkah, Zavier berhenti melangkah dan menoleh menatap Thalia. Sorot tatapan Zavier tampak mendalam dan alisnya sedikit mengernyit seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu. Thalia balas menatap Zavier dengan polos dan apa adanya. Mungkin karena pendengarannya terganggu, sorot tatapan Thalia tampak begitu cerah, jernih, terang-terangan dan terkesan indah. Zavier terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya dan menoleh menatap Wisnu yang ada di samping Thalia. Zavier pun berkata dengan nada serius, "Kenapa kamu malah diam saja di situ dan nggak ikut mendiskusikan soal kasus ini dengan kami? Seingatku, ada pasienmu yang lagi mengalami meningioma." Wisnu terdiam sesaat, lalu berkata, "Aku ini hanya mau pulang kerja. Ya sudahlah. Kalian anak muda memang pekerja keras. Aku ikut saja." Wisnu pun berjalan menghampiri Zavier. Tepat pada saat itu, kilat menyambar di luar sana. Sepertinya, hujan akan segera turun lagi. Akhir-akhir ini, Jinara selalu diguyur hujan lebat. Wisnu yang baru beberapa langkah berjalan pergi pun berbalik menatap Thalia, Tiara dan beberapa perawat yang belum pulang, lalu berujar memperingatkan mereka, "Hati-hati saat pulang. Terutama kamu, Thalia .... Kamu harus lebih memperhatikan keselamatanmu." Karena masalah pendengaran Thalia, semua orang di poli biasanya menjaganya dengan baik. Terlebih lagi Wisnu, pria itu sudah seperti orang tua yang sangat memperhatikan Thalia. Wisnu saja sepertinya menyadari bahwa akan sulit bagi Thalia untuk pulang dalam cuaca seperti ini, tetapi Zavier justru tidak menyadarinya. Ketika Thalia mengangkat pandangannya lagi, Zavier telah melangkah pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun padanya. Tiara menatap Thalia dan berkata dengan hati-hati, "Dokter Zavier memang terkenal gila kerja. Thalia, kamu ...." Thalia mengedipkan matanya. Dia tahu Tiara ingin menghiburnya dan memintanya untuk tidak memasukkan sikap Zavier ke dalam hati. Thalia mengangguk dan berkata dengan nada lembut yang sudah berkali-kali dia gunakan untuk membela Zavier, "Ya, aku tahu. Dokter Wisnu dan yang lainnya ikut kembali untuk membahas kasus ini, jadi sepertinya kondisi pasien sangat serius. Mereka pasti harus kerja keras." Tiara balas menatap Thalia dengan iba. Jangankan Thalia, dia saja yang merupakan orang luar ikut merasa sedih saat mendengar perkataan Zavier dan Hanisha. Bulu mata Thalia tampak bergetar. Setelah beberapa saat, dia pun berujar dengan suara pelan, "Lagi pula, mereka benar. Aku ini hanya seorang perawat, aku memang nggak paham pekerjaan dokter. Sudah cukup bagiku dengan berusaha sebaik mungkin supaya nggak merepotkan mereka." Saat Thalia pulang, hujan angin sedang berlangsung. Dia hampir basah kuyup. Setelah mandi dan membersihkan diri, Thalia pun mengeluarkan sebuah kotak dari dalam lemari. Di dalamnya terdapat semua hadiah ulang tahun yang diberikan kepadanya oleh Irish dan Zavier, tetapi hadiah-hadiah ini hanya berlaku hingga Thalia berusia 18 tahun .... Setelah itu, Irish meninggal dunia dan Zavier tidak ingat hari ulang tahunnya. Semua kenangan indah itu tiba-tiba berakhir ketika Thalia berusia 18 tahun. ... Sesuai dugaan, malam itu Zavier tidak pulang. Namun, keesokan harinya saat Thalia hendak pergi makan saat jam istirahat siang di rumah sakit, Zavier datang menghampirinya. Dia mengetuk meja pos perawat dua kali dan berkata dengan tenang, "Ikut aku."

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.