Bab 6
Saat Evander sedang mengemudi kembali ke vila, ponselnya terus berdering.
Dia melihat nama "Nenek" berkedip di layar dan langsung merasa pusing.
Saat dering terakhir, Evander menginjak rem dan menjawab panggilan telepon itu.
"Nenek." Suaranya lembut.
"Masih tahu aku ini nenekmu!" Suara lantang sang nenek terdengar dari telepon. "Ada apa dengan Hanna itu?"
Evander memijat pelipisnya dan menjawab dengan sabar, "Hanna sakit. Dia nggak berniat jahat."
"Evander, otaknya rusak apa bagaimana?" bentak sang nenek. "Dia nggak punya niat jahat? Dia jelas tahu kamu sudah menikah, tapi masih menempel nggak jelas denganmu. Jadi orang ketiga tapi sok suci, benar-benar nggak tahu malu! Cepat putuskan hubungan dengannya dan segera pergi tenangkan Sherly!"
Alis Evander mengerut tajam. Wajah Sherly melintas di benaknya.
Rasa jengkel pun muncul.
"Sherly yang mengadu ke kalian?" Nada suara Evander mulai dingin.
"Memangnya masih perlu Sherly yang ngomong?" Suara neneknya penuh amarah. "Beritanya sudah bertebaran di internet! Evander, kamu dengar baik-baik! Istrimu Sherly! Kamu tega melihatnya jatuh di depan orang banyak, sementara kamu malah berdiri di sisi wanita lain?"
"Kalau kamu begitu, bagaimana orang lain akan menilai Sherly? Apalagi ada banyak paparazzi di sekitar!"
Evander tiba-tiba teringat kejadian tadi serta tatapan Sherly yang sempat terluka. Sepertinya, ini memang kurang baik.
Namun dia segera menepis pikirannya sendiri.
Evander berkata, "Bukan seperti itu, Nenek. Dia sengaja pergi ke rumah sakit menghadang Hanna karena melihat berita di internet."
"Biar aku yang bicara." Tuan Besar Jeremy mengambil teleponnya.
"Evander," Suara Tuan Besar Jeremy terdengar dari ujung sana. "Waktu itu kamu yang bawa Sherly ke hadapanku dan bilang mau menikahinya. Kalau kamu sudah menikahinya, kamu harus tanggung jawab!"
"Kakek ...."
"Malam ini pulang makan malam di rumah tua," kata Tuan Besar Jeremy tanpa memberi kesempatan Evander menjelaskan. "Bawa Sherly juga."
Setelah mengatakan itu Tuan Besar Jeremy langsung menutup telepon.
Meninggalkan Evander sendirian di dalam mobil.
Tangan kirinya tanpa sadar mengetuk setir dan alisnya berkerut.
Dia mencari kontak Sherly di ponsel.
Pesan yang dikirim sebelumnya belum dibalas.
Hatinya sedikit kesal, tapi dia tetap menahan diri dan menelepon Sherly.
Butuh waktu lama sebelum Sherly akhirnya mengangkat telepon.
"Lagi apa?" Suara Evander terdengar dingin.
"Ada apa?" Sherly tidak menjawab pertanyaan itu, malah balik bertanya.
Evander memijat pelipisnya dan berkata, "Kenapa kamu ke rumah sakit menghadang Hanna hari ini?"
"Aku nggak melakukannya." Suara Sherly terdengar tenang. "Aku hanya pergi mencari Casie."
"Sherly, jangan bohong padaku!" Suara kesal kembali terdengar dan Evander mulai kehilangan kesabaran.
Tapi dari ujung telepon hanya terdengar suara tawa pelan Sherly.
Santai tanpa beban.
Juga terdengar seolah tidak peduli.
Hal itu makin membuat Evander marah.
Namun dia teringat perintah kakeknya, jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Malam ini ikut aku ke rumah tua." Pada akhirnya Evander berkata.
"Aku nggak ada waktu." Suara Sherly terdengar jelas, tanpa ragu sedikit pun.
"Itu perintah kakek," kata Evander sambil mengerutkan alis.
Detik berikutnya, Sherly menutup telepon.
Hanya terdengar bunyi sibuk di ponsel.
Evander tertegun sejenak, alisnya mengerut dalam.
Dia mencoba menelepon lagi, tapi sudah tidak bisa dihubungi lagi.
Arus kendaraan di jalan ramai, Evander terdiam dan diam menatap ponsel cukup lama.
Akhirnya, dia menyimpan ponsel dan menyalakan mobil, melaju menuju vila tempat tinggal mereka.
Langit sudah mulai gelap.
Evander menghentikan mobil dan langsung masuk ke rumah.
Wajahnya dingin begitu membuka pintu.
"Sherly."
Dia memanggil namanya dengan suara datar.
Tapi tidak ada jawaban.
Baru saat itu dia sadar, lampu di pintu masuk tidak dinyalakan dan seluruh rumah gelap gulita.
Evander sempat tertegun. Dulu, setiap kali dia pulang, selalu ada lampu kecil yang khusus dinyalakan untuknya. Sherly bahkan sering kali menunggunya pulang di sofa ruang tamu dan membaca buku sampai tertidur.
"Klik."
Evander menyalakan lampu, melihat ke arah sofa.
Namun sofa kosong, tidak ada jejak Sherly.
Kalau tadi dia merasa kesal karena urusan Hanna dan tekanan dari Nenek, tapi sekarang entah kenapa dia mulai merasa gelisah.
"Klik! Klik! Klik! Klik ...."
Evander menyalakan semua lampu di rumah dan memeriksa setiap ruangan.
Ruang tamu kosong, dapur kosong, kamar mandi juga kosong.
Beberapa kamar tidur dan ruang kerja pun tidak ada.
Dia tidak di rumah?
Telepon juga tidak diangkat.
Pergi ke mana?
Sepertinya kali ini dia benar-benar marah karena masalah perceraian pura-pura itu dan reaksinya agak berlebihan.
Lupakan saja.
Dia pasti akan tenang sendiri nanti. Hanna hanya punya waktu setengah tahun dan Sherly akan tetap menjadi istri Evander.
Namun sekarang Sherly merajuk dan tidak mau ke rumah tua, tapi dia tetap harus ke sana.
Sambil berpikir begitu, Evander masuk ke ruang penyimpanan.
Dia mengambil beberapa suplemen kesehatan.
Saat keluar, dia berpikir sejenak, lalu meletakkan barang-barang itu dan kembali ke kamar mereka.
Di dalam kamar masih tercium aroma parfum Cannel nomor lima.
Hadiah Evander untuk Sherly.
Alisnya sedikit merenggang.
Dia mengambil beberapa set pakaian, lalu bergegas pergi.
Dia tidak menyadari, lemari besar tempat baju mereka dulu disusun bersebelahan, sekarang hanya tersisa separuh bagian miliknya.
Semua perlengkapan berpasangan di rumah itu kini tinggal satu saja.
Tidak ada lagi kehangatan, hanya kesepian yang dingin.
...
Di sisi lain.
Salon kecantikan.
Sherly sedang melakukan perawatan kuku bersama Casie.
Casie melihat Sherly yang sengaja memilih bahan yang aman untuk ibu hamil. Dia pun hanya bisa menggeleng tak berdaya.
Casie berkata, "Bukankah kamu mau menggugurkannya? Kenapa masih memilih bahan khusus untuk ibu hamil?"
Sherly tersenyum. "Kalau masih bisa pilih, jadi kupilih saja. Bagaimanapun, dia masih di dalam perutku."
Casie mengangkat bahu dengan santai. Dia memandangi kuku tangannya yang berkilau dan tampak sangat senang.
Sherly menunduk, menatap kuku tangannya yang baru dihias.
Evander punya sakit maag.
Sejak menikah dengannya, Sherly selalu memasak sendiri dan sudah lama dia tidak melakukan manikur.
"Ya sudah, yang penting kamu mau berubah," kata Casie.
"Manikur hanya awal. Lihat gaya rambut dan pakaianmu."
"Sherly, aku masih ingat, sewaktu kita belum sampai umur sepuluh tahun, kita sudah diam-diam memakai sepatu hak tinggi ibu sambil berlari ke sana ke mari"
"Nggak ada alasan sekarang malah semakin mundur."
Casie menatap kuku cantiknya sambil berkata, "Sayang, aku sudah menjadi dokter, jadi nggak bisa tampil terlalu heboh lagi."
Sherly tertawa.
Ya, dia adalah wanita yang suka mengekspresikan diri.
Hanya saja, setelah jatuh cinta pada Evander, dia mulai menyesuaikan diri dengan seleranya.
Dulu, dia berpikir kalau kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah bisa bersama orang yang dicintainya. Memasak untuknya, melahirkan dan membesarkan anak bersamanya, lalu bahagia sampai tua.
Namun sekarang, semua itu terasa seperti sebuah lelucon besar.
Untungnya, semuanya masih bisa diperbaiki.
Dia akan membuat hidupnya kembali ke jalur yang seharusnya.